Jumat, 08 April 2011

Pemerintah sudah Harus Serius Atasi Problem Obesitas

Pemerintah sudah Harus Serius Atasi Problem Obesitas

JAKARTA (Media): Pemerintah perlu segera menyusun sebuah langkah komprehensif
dan menempatkan prioritas dalam mengatasi problematika obesitas (kegemukan) yang
telah menjadi ancaman baru dunia kesehatan masyarakat secara global.

Demikian rangkuman kesimpulan dalam forum jurnalis yang diadakan Koalisi untuk
Indonesia Sehat (KUIS) di Jakarta, Jumat (28/8). Hadir sebagai pembicara, pakar
gizi medik Universitas Indonesia Rachmad Soegih dan Kepala Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonusa Esa Unggul Weka Gunawan.

Menurut Rachmad, belum terdapat sinyalemen yang kuat dari pihak pembuat
kebijakan untuk menempatkan masalah obesitas sebagai faktor pencetus berbagai
penyakit lanjutan yang terkait. ''Obesitas masih dianggap masalah biasa,''
katanya.

Karena itu, sambungnya, hingga kini belum terdapat strategi nasional yang
terpadu dalam mengatasi obesitas. Pada sisi yang berlainan, kata Rachmad,
persoalan obesitas juga berkait dengan persepsi yang berkembang dalam
masyarakat.

Persoalan obesitas, lanjutnya, bukan hanya problem fisik, tetapi juga
mentalitas. Sebab, terangnya, masih banyak disinformasi yang salah dalam
pengertian dan kesadaran akan kesehatan di tingkat publik. ''Obesitas itu ukuran
kuantitatif,'' tuturnya.

Dengan menggunakan Berat Massa Indeks (BMI), lanjutnya, seseorang baru dapat
diklasifikasikan dalam kategorisasi obesitas ataupun bukan. ''Jadi bukan masalah
perasaan, sebab banyak orang merasa kegemukan tetapi BMI-nya normal,'' katanya.

Beberapa pekerjaan yang rawan untuk salah dalam memahami persoalan obesitas,
sebutnya, adalah para selebriti dan model iklan. ''Sebab mereka akan terus
berusaha mengurangi bobot tubuh sesuai dengan tuntutan profesi,'' tambahnya.

Sebenarnya, jelas Rachmad, program pola makan 'empat sehat lima sempurna' telah
cukup dalam menambah asupan nutrisi bagi tubuh. Namun, diingatkannya, perlu
adanya porsi yang seimbang. ''Jangan lebih banyak karbohidrat dibanding yang
lain,'' paparnya.

Metode pengobatan yang efektif, terangnya, yakni melaksanakan diet dan
memperbanyak aktivitas fisik. ''Tetapi perlu motivasi yang kuat dan disiplin,''
ulasnya. Karena kesadaran personal, lanjutnya, menjadi penentu keberhasilan
pengurangan bobot tubuh.

Kebiasaan serta pola makan orang Indonesia, kata dia, terutama di kalangan
anak-anak banyak yang salah secara aturan kesehatan. ''Anak-anak sering diajak
orang tuanya makan junk food (mis: makan-makanan yang banyak mengandung
pengawet) dibanding diajak untuk olahraga,'' ulasnya.

Melihat kondisi tersebut, Rachmad mengatakan perlu ada aturan yang secara
sistematik dapat menangkal pola konsumtif anak-anak pada usia sekolah dengan
melarang promosi makanan di sekolah. ''Hal ini akan dapat mencegah obesitas
sedari dini,'' ucapnya.

Struktur kebijakan

Pada kesempatan itu, sebagai ahli kesehatan masyarakat, Weda mengatakan struktur
kebijakan memang memegang peran signifikan dalam menanggulangi prevalensi
obesitas di masyarakat yang mencuat sebagai kendala kesehatan publik.

Pengaturan atas izin usaha junk food serta pemberitahuan atas konsekuensi
makanan yang berdampak buruk bagi kesehatan publik harusnya dapat tersosialisasi
menyeluruh. ''Serta disambung dengan perangkat kebijakan dan good will
pemerintah,'' imbuhnya. Meski ukuran obesitas di tiap negara berbeda, kata dia,
sebagai akibat kultur dan kebiasaan pola konsumsi publik, namun perlu diketahui
risiko penyakit yang ditimbulkan. ''Bisa terjadi hipertensi, diabetes, atau
penyakit kardiovaskuler lain.''

Sekarang, sekitar 15% bayi telah kelebihan berat badan. Sementara itu, 25% anak
usia sekolah mengalami overwight. Pada 80% anak usia 10-14 tahun telah obesitas.
''Kalau 5% bobot tubuh dapat dikurangi ke kondisi normal, maka perkembangan
kesehatan bertambah,'' paparnya.

Prevalensi gizi pada balita di desa maupun kota mengalami kenaikan. Kendati
demikian, hal tersebut dapat berarti ganda. Di satu sisi tingkat kesejahteraan
masyarakat naik, di sisi yang berbeda masyarakat terancam terkena obesitas.
''Bahayanya, seorang yang terkena obesitas juga biasanya dapat terkena
pengucilan sosial,'' tuturnya.

Kecenderungan global ini, katanya, terjadi hampir di semua negara. Obesitas di
Inggris telah mencapai 10%-17% dari populasi, sementara di Amerika Serikat
12%-14%, dan China menapaki angka 3,4%.

Guna mengatasi obesitas, sambung Weda, dapat ditempuh melalui terapi tingkah
laku yang berusaha mereduksi asupan energi, mengurangi penyerapan makanan, dan
meningkatkan pembakaran energi. (YD/V-2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar